Minggu, 14 Oktober 2012

Perspektif Modern Psikologi Tentang Manusia


Berdasarkan  pengertian psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya dan proses mental yang terjadi dalam perilakunya, maka perspektif psikologi tentang manusia dapat digolongkan dalam  tiga kelompok perilaku, yaitu :

1.     Manusia sebagai makhluk individual;
2.     Manusia sebagai  makhluk social;
3.     Manusia sebagai makhluk berke-Tuhan-an.

Sigmund Freud membantah teori Rene Descartes , bahwa perilaku manusia atau  yang disebutnya sebagai jejak-jejak permanen tidak hanya menyangkut  hal-hal yang sadar, tapi juga  hal-hal yang tidak disadari. Oleh karena itu menurut Freud,  kehidupan perilaku manusia mencakup tiga kualitas (Sarwono, 1986. hal 6-7), yaitu:

1. Kesadaran atau “consciousness”, yaitu perilaku-perilaku yang kita sadari;
2. Bawah sadar atau “ subconsciousness”, yaitu perilaku-perilaku yang sewaktu-waktu dapat menucul ke alam sadar;
3. Ketidaksadaran atau “unconsciousness”, yaitu perilaku-perilaku yang tidak dapat atau tidak mau muncul kealam sadar.

Sementara itu perilaku tidak hanya terjadi pada manusia, melainkan juga pada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu menurut Aristoteles, tarap hidup secara sistematis dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu:

1.  Anima vegetativa, yaitu taraf hidup terendah yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Pada taraf ini, makhluk hidup tersebut hanya mampu melakukan reaksi terhadap rangsangan dari luar  untuk mempertahankan hidup dan tumbuh. Salah satu contoh reaksi pada taraf ini adalah gerakan daun-daun yang kuncup apabila  malam tiba dan mekar apabila sinar matahari atau siang datang;

2.   Anima sensitiva, yaitu taraf hidup yang terdapat pada khewan. Oleh karena makhluk-makhluk tersebut sudah mempunyai alat indra, reaksi-reaksi makhluk tersebut sudah bervariasi selaras dengan bekerjanya alat indranya. Perilaku pada tingkatan ini antara lain ditandai dengan
Kemampuan seleksi,seperti memilih rangsangan-rangsangan mana yang perlu didekati atau harus dijauhi; mampu membedakan antara dunia dalam ( inner world ) dan dunia luar ( outside world ) yang berarti makhluk tersebut sudah mempunyai kesadaran. Namun demikian makhluk pada taraf ini  belum bisa dikatakan mempunyai hati nurani, karena ia belum mengenal norma-norma atau tata tertib sebagaimana yang dikenal manusia.

3.   Anima intelektiva , yaitu taraf hidup tertinggi yang terdapat pada
Manusia dalam dunia yang lebih bervariasi. Pada taraf ini terdapat kehidupan  lebih dari sekedar kehidupan sadar, misalnya terdapat potensi kecerdasan, kemampuan untuk menyimpan rangsangan yang kemudian timbul sebagai jejak-jejak dalam kesadaran yang disebut fungsi mneme ( Mnemic function ). Dengan demikian manusia dapat bereaksi terhadap hal-hal yang sudah lewat dan yang akan datang. Pada manusia terdapat kemampuan untuk belajar, yang tidak saja memilih yang disukainya tapi juga bisa mengubah situasi yang dikehendakinya. Akhirnya Aristoteles sampai pada kesimpulan, bahwa taraf anima intelektiva mengandung kedua taraf sebelumnya, tetapi tidak pada sebaliknya.

Akan halnya manusia sebagai makhluk berke-Tuhan-an di sini diartikan, bahwa manusia mempunyai keyakinan akan adanya sumber dari segala sumber  kehidupan yang diterima melalui agama yang diyakininya. Menurut Allport terdapat dua golongan keberagamaan, yaitu keberagamaan ekstrinsik yaitu untuk tujuan-tujuan yang lain dan keberagamaan intrinsik yaitu seseorang  yang berusaha hidup berdasarkan agama yang diyakininya. ( Dalam Rakhmat.2003 hal.xv )

Dalam perspektif psikologi , perilaku  komunikasi manusia dapat berlangsung secara individual (Intra dan inter Personal Communication ), dalam situasi social ( inter personal communication,  termasuk dalam kelompok dan massa ) dan dalam situasi keberagamaan atau berketuhanan (transcendental communication).

Manusia sebagai Makhluk Individual
Para tokoh fillsuf sebelum aliran  psikologi modern, seperti: Aristoteles, Descartes dan tokoh-tokoh Asosiasionisme menganggap jiwa dan raga manusia sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau bukan merupakan kesatuan. Aristoles berpendapat, bahwa manusia itu merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang masing-masing bekerja sendiri-sendiri,  seperti: kemampuan vegetatif, yaitu makan dan tumbuh atau berkembang biak; kemampuan sensitif, yaitu bergerak, mengamat-amati, bernafsu dan berperasaan; kemampuan intelektif, yaitu kemauan dan berkecerdasan. Sementara Descartes menyatakan, bahwa manusia terdiri atas zat rohaniah  dengan zat material yang masing-masing bekerja menurut aturannya sendiri yang malah bertentangan. Sedangkan kaum Asosiasionisme berpendapat, bahwa jiwa manusia terdiri atas unsur-unsur pengalaman sederhana yang dihubungkan antara pengalaman yang satu dengan pengalaman  yang lain secara mekanis oleh dalil-dalil asosiasi ialah refleksi, sensasi, gagasan dan impressi.

Barulah Wilhelm Wundt dan terutama akhli-akhli psikologi modern menegaskan, bahwa jiwa manusia merupakan kesatuan jiwa raga yang kegiatannya sebagai keseluruhan. Mereka menegaskan misalnya, bahwa apabila kita mengamati sesuatu  bukan berarti hanya melihat dengan alat indra semata-mata, akan tetapi dengan seluruh minat dan  perhatian yang kita curahkan terhadap obyek yang sedang diamati. Minat perhatian tersebut sangat dipengaruhi oleh niat dan kebutuhan kita pada waktu itu. Selain itu selama mengamati sesuatu, terlibat pula pengalaman  yang turut mempengaruhi persepsi dan penafsirannya terhadap obyek yang diamati.

Sebagai makhluk individual manusia juga tidak hanya keseluruhan jiwa raga, melainkan juga masing-masing manusia merupakan pribadi yang khas sesuai dengan corak keperibadian dan kecakapan-kecakapanna. Pendapat ini ditegaskan oleh Allport ( dalam Gerungan,1967 hal 28 ), bahwa kepribadian manusia adalah organisasi dinamis dari system psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik (khas ) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Sementara Freud menyatakan, bahwa kepribadian sebagai integrasi dari Id, Ego dan Super Ego. Sedangkan Adler berpendapat, bahwa kepribadian adalah gaya hidup individu atau cara yang karakteristik mereaksinya seseorang terhadap masalah-masalah hidup termasuk tujuan-tujuan hidupnya (Kartini  Kratono, 1999 hal. 362 )
Berdasarkan pengertain-pengertian tersebut di atas, bahwa secara individual setiap manusia akan mengalami perkembangan yang khas atau berbeda satu sama lain di dalam kehidupannya, meskipun keadaan dan lingkungan kehidupannya sama.
Di dalam perilaku komunikasi segi-segi individual  manusia tersebut harus mendapat perhatian yang wajar, sehingga efektivitas dan efisiensi komunikasi dapat di dicapai dan dikembangkan.


C.    Manusia sebagai Makhluk Sosial
Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan orang lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan biologisnya. Dalam perkembangan lebih lanjut  kebutuhannya akan semakin meningkat, bukan saja yang bersifat biologis tapi juga kebutuhan psikis seperti perhatian, dekapan, kedekatan, senyuman orang-orang di sekitar terutama ibunya. Apabila ia mulai bergaul dalam lingkungan yang lebih luas, ia bukan saja menerima kontak social tapi juga dapat memberikan kontak social. Sesuai dengan perkembangan psiko-fisiknya seseorang mulai mengerti adanya peraturan-peraturan tertentu yang harus dipatuhi di dalam kelompok sepermainannya agar ia dapat melanjutkan hubungannya dengan kelompok tersebut. Iapun mulai  turut membentuk norma-norma pergaulan tertentu yang sesuai bagi interaksi sosialnya. Selain itu satu sama lain mengakui peranan masing-masing secara timbal balik. Dengan kata lain, setiap orang akan belajar mengembangkan kecakapan dalam bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain atau lingkungannya. Menurut Freud, Super Ego  yang terdiri atas hati nurani, norma-norma dan cita-cita pribadi sudah mulai terbentuk ketika seseorang berumur 5-6 tahun. Super Ego dan juga Ego seseorang yang berupa kecerdasan dalam menghadapi realita dan masalah-masalah  kehidupan tidak mungkin dapat berkembang tanpa ia bergaul dengan orang lain. Justru dalam situasi interaksi social itulah manusia dapat merealisasikan kehidupan dan potensi-potensi  individualnya.

Menurut S. Stanfeld Sargent terdapat ( 5 ) lima faktor utama yang  mempengaruhi perilaku social (Coffey 1976 hal.201 ), yaitu :
3.     Sifat (nature ) dari situasi social. Contoh: Debat kusir tentang korupsi antar anggota  kelompok  di lingkungan RT dengan debat formal anggota DPR di forum sidang resmi adalah  dua  situasi social yang berbeda.
4.     Norma-norma kelompok social. Contoh: Obrolan di kalangan remaja kelas menengah akan berbeda dengan obrolan di kalangan remaja kelas atas.
5.     Kepribadian. Contoh: Seseorang yang mempunyai kekuasaan akan berkomunikasi lebih hati-hati di banding orang biasa.
6.     Kondisi sementara. Contoh: seseorang dalam keadaan marah   akan berbeda  sikapnya dengan keadaan normalnya. Kodisi temporer ini mencakup tidak hanya keadaan emosinya tapi juga fisik seperti dalam keadaan  sakit tertentu atau usia muda juga usia tua.
7.     Persepsi. Contoh : Seseorang yang mempersepsikan orang lain sebagai teman atau sebagai musuh, komunikasi diantara dua situasi social tersebut   akan berbeda.

Jadi pada dasarnya individu manusia sebagai makhluk social tidak akan sanggup hidup seorang diri tanpa berada atau mendapat dukungan psikis atau rokhaniah dalam lingkungan, meskipun secara fisik biologis ia dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif. Oleh karena itu sejak seseorang dilahirkan, dalam kehidupannya sampai ia mati membutuhkan hubungan yang intens dan harmonis dengan sesama dan di lingkungannya. Komunikasi yang memperhatikan kepentingan diri sendiri dan orang lain  memainkan peranan penting  dalam memelihara hubungan manusia dengan  manusia  pada khususnya dan ingkungan pada umumnya

E. Manusia sebagai Makhluk Berke-Tuhan-an
Literatur barat sangat langka membahas segi ke-Tuhan-an yang mempengaruhi perilaku manusia. Meskipun konsep tentang ke-Tuhan-an banyak ditinggalkan, karena secara empiris eksperimental sulit dibuktikan, namun tidak berarti Tuhan itu tidak ada. Kepercayaan adanya kekuatan yang mengontrol alam semesta dan kehidupan manusia, secara langsung maupun tidak langsung masih diakui keberadaannya oleh mayoritas manusia. Manusia yang mempercayai adanya Tuhan didasarkan pada bentuk keyakinan akan masing-masing agama yang dianutnya. Agama dirumuskan oleh J.P Chaplin (dalam terj. Kartini Kartono, 1999 hal. 427) sebagai satu system yang kompleks dari kepercayaan, keyakinan , sikap-sikap dan upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan suatu keberadaan atau makhluk yang bersifat ketuhanan. Dengan demikian setiap perilaku individu dan orientasi keberagamaannya akan berbeda-beda. Jalaluddin Rakhmat membedakan dua jenis keberagamaan, yaitu: Keberagamaan ekstrinsik, dalam arti suatu perilaku seseorang yang menggunakan agama untuk tujuan-tujuan yang lain dan keberagamaan Intrinsik, artinya keseluruhan perilaku seeorang yang diusahakan berdasarkan agama yang diyakininya. Dalam hal komunikasi yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an disebut sebagai komunikasi transcendental, yaitu bentuk komunikasi dengan subyek lain yang tidak didasarkan pada pengalaman dan alasan  atau nalar dalam cakupan  pengetahuan manusia. Sedangkan seseorang yang mengingkari akan adanya Tuhan baik dalam keyakinan, ucapan maupun perilaku dianggap sebagai atheist.  Atheisme menganggap, bahwa kepercayaan akan adanya Tuhan dianggap sebagai  pelarian dari ketidakmampuan seseorang akan logika atau nalarnya.
Adanya tingkat konsistensi antara keyakinan beragama dengan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari oleh Glock dan Stark ( Dalam Ummu Athiyyah hal. 16 ) sebagai komitmen keberagamaan. Mereka mengungkapkan, bahwa  komitmen keberagamaan tersebut meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut :
1. Keyakinan atau ideologi, yaitu sikap  dan pengharapan berpegang teguh akan kebenaran  doktrin;
2. Praktek agama dan ritual-ritual;
3. Pengalaman ( experiential ), yaitu fakta, berupa semua kejadian yang dirasakan dan dialami seeorang selama menjalankan praktek keagamaannya;
4. Pengetahun atau intelektual;
5. Konsekwensi, yaitu akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima dimensi tersebut sejalan dengan pendapat Yusuf Al Qordhowi, bahwa prinsip kegamaan mencakup prinsip akidah ( keyakinan ), syariah  ( ibadah ), dan Akhlak ( perilaku baik atau buruk yang sesuai dengan keyakinan  terhadap suatu agama)
Namun demikian ,perspektif psikologi menganggap bahwa ada atau tidak adanya keyakinan dan komitmen  terhadap keagamaan  akan terefleksikan di dalam perilaku individual sehari-hari yang dapat diamati dan  memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia.

Persepektif Psikologi tentang manusia meliputi tiga segi utama, yaitu:
1.  Manusia sebagai makhluk individual, yaitu suatu organisme psiko-fisik yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Perilaku individual yang mencakup perilaku komunikasi adalah refleksi system psiko-fisik seseorang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal genetic dan faktor-faktor  ekternal yang merupakan jejak-jejak pengalaman selama berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungannya;
2. Manusia sebagai makhluk social, yaitu seseorang individu sejak dilahirkan sampai mati  akan membutuhkan  dukungan  , baik secara biologis maupun mental sesama manusia dan lingkungan untuk dapat mengembangkan kepribadiannya. Komunikasi sebagai salah satu bentuk hubungan manusia dengan sumber-sumber primer atau sekunder memainkan peranan penting dalam menunjang pengembangan kepribadian seseorang dalam berkominikasinya;
3. Manusia sebagai makhluk berke-Tuhan-an, yaitu setiap individu mempunyai keyakinan terhadap sesuatu kekuatan di luar dirinya yang mengontrol perilaku dan keseluruhan kehidupan dan alam semesta. Keyakinan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tingkat komitmen keberagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar