Berdasarkan pengertian psikologi
sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan
lingkungannya dan proses mental yang terjadi dalam perilakunya, maka perspektif
psikologi tentang manusia dapat digolongkan dalam tiga kelompok perilaku, yaitu :
1. Manusia
sebagai makhluk individual;
2. Manusia
sebagai makhluk social;
3. Manusia
sebagai makhluk berke-Tuhan-an.
Sigmund Freud membantah
teori Rene Descartes , bahwa perilaku manusia atau yang disebutnya sebagai jejak-jejak permanen
tidak hanya menyangkut hal-hal yang
sadar, tapi juga hal-hal yang tidak
disadari. Oleh karena itu menurut Freud,
kehidupan perilaku manusia mencakup tiga kualitas (Sarwono, 1986. hal
6-7), yaitu:
1. Kesadaran atau
“consciousness”, yaitu perilaku-perilaku yang kita sadari;
2. Bawah sadar atau
“ subconsciousness”, yaitu perilaku-perilaku yang sewaktu-waktu dapat menucul
ke alam sadar;
3. Ketidaksadaran atau
“unconsciousness”, yaitu perilaku-perilaku yang tidak dapat atau tidak mau
muncul kealam sadar.
Sementara itu perilaku
tidak hanya terjadi pada manusia, melainkan juga pada hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu menurut Aristoteles, tarap hidup secara
sistematis dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu:
1. Anima vegetativa,
yaitu taraf hidup terendah yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Pada taraf ini,
makhluk hidup tersebut hanya mampu melakukan reaksi terhadap rangsangan dari
luar untuk mempertahankan hidup dan
tumbuh. Salah satu contoh reaksi pada taraf ini adalah gerakan daun-daun yang
kuncup apabila malam tiba dan mekar
apabila sinar matahari atau siang datang;
2. Anima sensitiva,
yaitu taraf hidup yang terdapat pada khewan. Oleh karena makhluk-makhluk
tersebut sudah mempunyai alat indra, reaksi-reaksi makhluk tersebut sudah
bervariasi selaras dengan bekerjanya alat indranya. Perilaku pada tingkatan ini
antara lain ditandai dengan
Kemampuan
seleksi,seperti memilih rangsangan-rangsangan mana yang perlu didekati atau
harus dijauhi; mampu membedakan antara dunia dalam ( inner world ) dan dunia
luar ( outside world ) yang berarti makhluk tersebut sudah mempunyai kesadaran.
Namun demikian makhluk pada taraf ini
belum bisa dikatakan mempunyai hati nurani, karena ia belum mengenal
norma-norma atau tata tertib sebagaimana yang dikenal manusia.
3. Anima intelektiva
, yaitu taraf hidup tertinggi yang terdapat pada
Manusia dalam dunia
yang lebih bervariasi. Pada taraf ini terdapat kehidupan lebih dari sekedar kehidupan sadar, misalnya
terdapat potensi kecerdasan, kemampuan untuk menyimpan rangsangan yang kemudian
timbul sebagai jejak-jejak dalam kesadaran yang disebut fungsi mneme (
Mnemic function ). Dengan demikian manusia dapat bereaksi terhadap
hal-hal yang sudah lewat dan yang akan datang. Pada manusia terdapat kemampuan
untuk belajar, yang tidak saja memilih yang disukainya tapi juga bisa mengubah
situasi yang dikehendakinya. Akhirnya Aristoteles sampai pada kesimpulan, bahwa
taraf anima intelektiva mengandung kedua taraf sebelumnya, tetapi tidak pada
sebaliknya.
Akan halnya manusia sebagai
makhluk berke-Tuhan-an di sini diartikan, bahwa manusia mempunyai keyakinan
akan adanya sumber dari segala sumber
kehidupan yang diterima melalui agama yang diyakininya. Menurut Allport
terdapat dua golongan keberagamaan, yaitu keberagamaan ekstrinsik
yaitu untuk tujuan-tujuan yang lain dan keberagamaan intrinsik
yaitu seseorang yang berusaha hidup
berdasarkan agama yang diyakininya. ( Dalam Rakhmat.2003 hal.xv )
Dalam perspektif psikologi
, perilaku komunikasi manusia dapat
berlangsung secara individual (Intra dan inter Personal Communication ), dalam
situasi social ( inter personal communication,
termasuk dalam kelompok dan massa
) dan dalam situasi keberagamaan atau berketuhanan (transcendental
communication).
Manusia sebagai
Makhluk Individual
Barulah Wilhelm Wundt dan
terutama akhli-akhli psikologi modern menegaskan, bahwa jiwa manusia merupakan
kesatuan jiwa raga yang kegiatannya sebagai keseluruhan. Mereka menegaskan
misalnya, bahwa apabila kita mengamati sesuatu
bukan berarti hanya melihat dengan alat indra semata-mata, akan tetapi
dengan seluruh minat dan perhatian
yang kita curahkan terhadap obyek yang sedang diamati. Minat perhatian tersebut
sangat dipengaruhi oleh niat dan kebutuhan kita pada waktu itu.
Selain itu selama mengamati sesuatu, terlibat pula pengalaman yang turut mempengaruhi persepsi dan
penafsirannya terhadap obyek yang diamati.
Sebagai makhluk individual
manusia juga tidak hanya keseluruhan jiwa raga, melainkan juga masing-masing
manusia merupakan pribadi yang khas sesuai dengan corak
keperibadian dan kecakapan-kecakapanna. Pendapat ini ditegaskan oleh Allport (
dalam Gerungan,1967 hal 28 ), bahwa kepribadian manusia adalah organisasi
dinamis dari system psikofisik dalam individu yang turut menentukan
cara-caranya yang unik (khas ) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sementara Freud menyatakan,
bahwa kepribadian sebagai integrasi dari Id, Ego dan Super Ego. Sedangkan Adler
berpendapat, bahwa kepribadian adalah gaya
hidup individu atau cara yang karakteristik mereaksinya seseorang terhadap
masalah-masalah hidup termasuk tujuan-tujuan hidupnya (Kartini Kratono, 1999 hal. 362 )
Berdasarkan
pengertain-pengertian tersebut di atas, bahwa secara individual setiap manusia
akan mengalami perkembangan yang khas atau berbeda satu sama lain di dalam
kehidupannya, meskipun keadaan dan lingkungan kehidupannya sama.
Di dalam perilaku
komunikasi segi-segi individual manusia
tersebut harus mendapat perhatian yang wajar, sehingga efektivitas dan
efisiensi komunikasi dapat di dicapai dan dikembangkan.
C. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Sejak manusia dilahirkan,
ia membutuhkan orang lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan biologisnya. Dalam
perkembangan lebih lanjut kebutuhannya
akan semakin meningkat, bukan saja yang bersifat biologis tapi juga kebutuhan
psikis seperti perhatian, dekapan, kedekatan, senyuman orang-orang di sekitar
terutama ibunya. Apabila ia mulai bergaul dalam lingkungan yang lebih luas, ia
bukan saja menerima kontak social tapi juga dapat memberikan kontak social.
Sesuai dengan perkembangan psiko-fisiknya seseorang mulai mengerti adanya
peraturan-peraturan tertentu yang harus dipatuhi di dalam kelompok
sepermainannya agar ia dapat melanjutkan hubungannya dengan kelompok tersebut. Iapun mulai turut membentuk norma-norma pergaulan
tertentu yang sesuai bagi interaksi sosialnya. Selain itu satu sama lain mengakui peranan masing-masing secara timbal
balik. Dengan kata lain, setiap orang akan belajar mengembangkan kecakapan
dalam bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain atau lingkungannya.
Menurut Freud, Super Ego yang terdiri
atas hati nurani, norma-norma dan cita-cita pribadi sudah mulai terbentuk
ketika seseorang berumur 5-6 tahun. Super Ego dan juga Ego seseorang yang
berupa kecerdasan dalam menghadapi realita dan masalah-masalah kehidupan tidak mungkin dapat berkembang
tanpa ia bergaul dengan orang lain. Justru dalam situasi interaksi social itulah manusia
dapat merealisasikan kehidupan dan potensi-potensi individualnya.
Menurut S. Stanfeld Sargent terdapat ( 5 ) lima faktor utama yang mempengaruhi perilaku social (Coffey 1976
hal.201 ), yaitu :
3. Sifat (nature ) dari situasi social. Contoh: Debat kusir tentang
korupsi antar anggota kelompok di lingkungan RT dengan debat formal anggota
DPR di forum sidang resmi adalah
dua situasi social yang berbeda.
4. Norma-norma kelompok social. Contoh: Obrolan di kalangan remaja
kelas menengah akan berbeda dengan obrolan di kalangan remaja kelas atas.
5. Kepribadian. Contoh: Seseorang yang mempunyai kekuasaan akan
berkomunikasi lebih hati-hati di banding orang biasa.
6. Kondisi sementara. Contoh: seseorang dalam keadaan marah akan berbeda
sikapnya dengan keadaan normalnya. Kodisi temporer ini mencakup tidak
hanya keadaan emosinya tapi juga fisik seperti dalam keadaan sakit tertentu atau usia muda juga usia tua.
7. Persepsi. Contoh : Seseorang yang mempersepsikan orang lain
sebagai teman atau sebagai musuh, komunikasi diantara dua situasi social
tersebut akan berbeda.
Jadi pada dasarnya individu manusia sebagai makhluk social tidak akan
sanggup hidup seorang diri tanpa berada atau mendapat dukungan psikis atau
rokhaniah dalam lingkungan, meskipun secara fisik biologis ia dapat mempertahankan
dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif. Oleh karena itu sejak seseorang
dilahirkan, dalam kehidupannya sampai ia mati membutuhkan hubungan yang intens
dan harmonis dengan sesama dan di lingkungannya. Komunikasi yang memperhatikan
kepentingan diri sendiri dan orang lain
memainkan peranan penting dalam
memelihara hubungan manusia dengan
manusia pada khususnya dan
ingkungan pada umumnya
Literatur barat sangat
langka membahas segi ke-Tuhan-an yang mempengaruhi perilaku manusia. Meskipun
konsep tentang ke-Tuhan-an banyak ditinggalkan, karena secara empiris
eksperimental sulit dibuktikan, namun tidak berarti Tuhan itu tidak ada.
Kepercayaan adanya kekuatan yang mengontrol alam semesta dan kehidupan manusia,
secara langsung maupun tidak langsung masih diakui keberadaannya oleh mayoritas
manusia. Manusia yang mempercayai adanya Tuhan didasarkan pada bentuk keyakinan
akan masing-masing agama yang dianutnya. Agama dirumuskan oleh J.P Chaplin
(dalam terj. Kartini Kartono, 1999 hal. 427) sebagai satu system yang
kompleks dari kepercayaan, keyakinan , sikap-sikap dan upacara-upacara yang
menghubungkan individu dengan suatu keberadaan atau makhluk yang bersifat
ketuhanan. Dengan demikian setiap perilaku individu dan orientasi
keberagamaannya akan berbeda-beda. Jalaluddin Rakhmat membedakan dua jenis
keberagamaan, yaitu: Keberagamaan ekstrinsik, dalam arti suatu
perilaku seseorang yang menggunakan agama untuk tujuan-tujuan yang lain dan keberagamaan
Intrinsik, artinya keseluruhan perilaku seeorang yang diusahakan
berdasarkan agama yang diyakininya. Dalam hal komunikasi yang berkaitan dengan
ke-Tuhan-an disebut sebagai komunikasi transcendental, yaitu
bentuk komunikasi dengan subyek lain yang tidak didasarkan pada pengalaman dan
alasan atau nalar dalam cakupan pengetahuan manusia. Sedangkan seseorang yang
mengingkari akan adanya Tuhan baik dalam keyakinan, ucapan maupun perilaku
dianggap sebagai atheist. Atheisme
menganggap, bahwa kepercayaan akan adanya Tuhan dianggap sebagai pelarian dari ketidakmampuan seseorang akan
logika atau nalarnya.
Adanya tingkat konsistensi
antara keyakinan beragama dengan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari
oleh Glock dan Stark ( Dalam Ummu Athiyyah hal. 16 ) sebagai komitmen keberagamaan.
Mereka mengungkapkan, bahwa komitmen
keberagamaan tersebut meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut :
1. Keyakinan atau
ideologi, yaitu sikap dan pengharapan
berpegang teguh akan kebenaran doktrin;
2. Praktek agama dan
ritual-ritual;
3. Pengalaman (
experiential ), yaitu fakta, berupa semua kejadian yang dirasakan dan dialami
seeorang selama menjalankan praktek keagamaannya;
4. Pengetahun atau
intelektual;
5. Konsekwensi,
yaitu akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kelima dimensi tersebut
sejalan dengan pendapat Yusuf Al Qordhowi, bahwa prinsip kegamaan mencakup
prinsip akidah ( keyakinan ), syariah (
ibadah ), dan Akhlak ( perilaku baik atau buruk yang sesuai dengan keyakinan terhadap suatu agama)
Namun demikian ,perspektif
psikologi menganggap bahwa ada atau tidak adanya keyakinan dan komitmen terhadap keagamaan akan terefleksikan di dalam perilaku
individual sehari-hari yang dapat diamati dan
memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia.
Persepektif Psikologi
tentang manusia meliputi tiga segi utama, yaitu:
1. Manusia sebagai makhluk individual, yaitu suatu
organisme psiko-fisik yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Perilaku individual
yang mencakup perilaku komunikasi adalah refleksi system psiko-fisik seseorang
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal genetic dan faktor-faktor ekternal yang merupakan jejak-jejak
pengalaman selama berhubungan atau berinteraksi dengan lingkungannya;
2. Manusia sebagai makhluk social, yaitu seseorang
individu sejak dilahirkan sampai mati
akan membutuhkan dukungan , baik secara biologis maupun mental sesama
manusia dan lingkungan untuk dapat mengembangkan kepribadiannya. Komunikasi
sebagai salah satu bentuk hubungan manusia dengan sumber-sumber primer atau
sekunder memainkan peranan penting dalam menunjang pengembangan kepribadian
seseorang dalam berkominikasinya;
3. Manusia sebagai makhluk berke-Tuhan-an, yaitu setiap
individu mempunyai keyakinan terhadap sesuatu kekuatan di luar dirinya yang
mengontrol perilaku dan keseluruhan kehidupan dan alam semesta. Keyakinan
tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tingkat komitmen keberagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar